Kamis, 28 Agustus 2014

Para Ksatria

Kesenian Grasak Bocah dari Dusun Petung, Desa Petung, Kecamatan Pakis, Merbabu. Tampil dalam acara Festival Lima Gunung XIII di  Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan Kecamatan Pakis, Merbabu pada hari Minggu, 24 Agustus 2014.
       
          Reportase Mba Regina di kolom nusantara Kompas pagi ini saya rasa berhasil menyimpulkan berbagai hikmat dari kumpulan kejadian yang saya alami seminggu belakangan. Tentang keprihatinan atas tatanan antropologis psikologis sosial yang carut marut di mandala-mandala inti dari bumi Shambara sampai bundaran HI. Tentang kegelisahan yang terusik akibat hadiah dari filsuf kerakyatan pengusung hidup mbambung http://kenduricinta.com/v4/pusaka-satria/. Tentang makna dari pusaka dan jalan ksatria.

          Festival Lima Gunung 13 seolah menjadi show case kepada saya atas best practice dari apa itu kebudayaan dan manusia berbudaya. FLG sesuai temanya sudah mengajak saya bersama para peserta lainnya untuk Topo ing rame. Belajar dari kebahagiaan alamiah para seniman yang berduyun-duyun dari segala penjuru tanpa dibayar untuk tampil layaknya di gemerlap panggung yang dlm ukuran orang jamak kerap diasosiasikan dengan kerja. Belajar dari keikhlasan dan keterbukaan warga desa Warangan di sudut kaki Merbabu untuk menerima berbagai jenis tamu dan ikut larut dalam raya festival. Belajar dari kebersahajaan punggawa-punggawa lima gunung yang ringan tangan tanpa itungan rupiah maupun selembar proposal, apalagi ego sektoral, ringan tangan dan ringan mulut mengajak semua urunan menyiapkan melangsungkan festival. Sungguh saya bersaksi, orang-orang ini adalah para makelar kebaikan.

          Bahwa FLG ada untuk membuat penampil penyelenggara dan pemirsa ikut berbahagia; tanpa ada batasan usia status gender apalagi sentimen sukuisme dan agama. Sesederhana itu pula makna dari berbudaya. Budaya adalah roh, adalah tata nilai, adalah proses keseharian, adalah kepercayaan yang membentuk interaksi. Budaya bukan hasil industri sektor tertentu, bukan pula komoditas yang direduksi sekedar mendukung tata kuasa tertentu. Bahwa empan papan berantakan sudah terlanjur menjadi jamak, segala unsur flg 13 menjadi sesuatu yang ora usum.

          Sebagaimana pesan eyang kakung kyai wongsogunung, seharusnya semua sederhana saja, yg penting bahagia, pariwisata pun kesenian adalah cara, jumlah turis-devisa-pamor adalah ikutan saja; kebudayaan-tata nilai dan ukuran itu intinya. Tata nilai ini yang menghasilkan pusaka-borobudur, tata kota, gamelan, batik, dll. Jauh-jauhlah dari stigma warisan, karena pusaka ini buat dijaga, bukan dibagi habis dan diperas hasilnya buat dipamer-pamerkan.

        Sementara buat saya pribadi, sebagaimana 5 gunung melingkari dan melindungi Borobudur; para penghuni 5 gunung ini yang menjaga saya-mengingatkan saya atas apa hukum, hikmat, dan ikutan. Mereka adalah sanak kadang saya. Yang menjaga saya tanpa peduli saya siapa. Menjadi bagian dr Malioboro saya, mengantarkan saya (semoga) menuju pangurakan.

          Sudah, cukuplah ndobos saya pagi ini. Sebagai seorang yang dituntut menjadi ksatria tapi dengan sistem sudra yang serba kagok dan gelisah dan kipit-kipit, racauan saya pasti banyak salahnya. Jangan dipercaya. Percaya cukup sama Tuhan saja.

Lailly Prihatiningtyas
Dirut PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko (TWCBPRB)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar